Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

WELCOME TO BLOG

Selamat Datang Di Blog Pencinta Alam

Buruknya Hubungan Manusia dengan Alam

TANGGAL 22 April lusa, kembali kita memperingati hari bumi. Hari di mana kita selayaknya melakukan refleksi atas perlakuan kita kepada bumi selama ini. Bumi merupakan tempat hidup kita, bagian yang penting dari lingkungan kita. Tetapi setiap kali memperingati hari bersejarah itu setiap kali pula kekecewaan yang kita dapatkan. Betapa tidak, kerusakan bumi makin meningkat. Banjir dan longsor baru saja menerpa berbagai daerah di bumi pertiwi ini. Bencana itu bukan sekadar fenomena alam tetapi menjadi indikasi yang kuat menurunnya daya dukung lingkungan.

Bencana banjir bandang di Jember telah diyakini disebabkan oleh pembalakan hutan di daerah hulu. Sejumlah LSM menuntut para pelaku pembalakan hutan yang dicap sebagai penjahat lingkungan untuk diajukan ke pengadilan. Bencana tanah longsor di Banjarnegara masih simpang-siur. Sebagian besar berpendapat disebabkan oleh kondisi geologis.

Bencana banjir di Manado lagi ditengarai oleh kerusakan lingkungan. Banjir bandang di sepanjang Kali Gelis di wilayah Kudus, Pati, dan Jepara diindikasikan oleh kerusakan hutan di kawasan Saptarengga. Sedangkan tanah longsor yang membuat runtuh perumahan Ayodya di daerah Sekaran, Gunungpati, Kota Semarang merupakan daerah yang sesungguhnya tidak layak sebagai hunian.

Hal yang sama juga terjadi di daerah Gumpilsari dan Bukit Regency di daerah Semarang Selatan yang terjadi beberapa tahun lalu. Berbagai bencana yang baru saja terjadi mengingatkan bencana serupa yang terjadi di Bahorok, Sumatera Utara. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2000 menunjukkan kawasan hutan yang telah berubah fungsi mencapai 2 juta hektare.

Di Jawa perubahan kawasan hutan telah mencapai 53,6 persen. Kondisi ini mengantarkan pada suatu pemikiran bahwa untuk mengendalikan banjir dan longsor diperlukan moratorium penebangan hutan di Jawa. Apakah memang manusia itu dilahirkan untuk tidak bersahabat dengan alam?

Selaras Dengan Alam

Kalau kita tengok evolusi hubungan manusia dengan alam sesungguhnya manusia itu memulainya dengan satu tahapan yang sangat harmonis yang disebut sebagai pan cosmism di mana manusia berusaha untuk hidup selaras dengan alam. Dalam pandangan manusia pada masa itu alam itu besar dan sakral karena itu harus dipelihara. Jika terjadi kerusakan alam akan berakibat buruk pada manusia itu sendiri.

Untuk merealisasikan gagasan itu manusia menciptakan pemali-pemali atau etika bagaimana bertindak dan bertingkah laku terhadap alam. Hampir semua etnis di negeri kita ini memiliki aturan-aturan dimaksud yang disebut sebagai kearifan lingkungan.

Di Jawa para petani akrab dengan kebiasaan nyabuk gunung sedangkan petani Sunda menyebutnya ngais gunung. Kedua kearifan lingkungan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi. Masyarakat Badui mempraktikkan tradisi pikukuh dalam bercocok tanam dan membangun rumah. Demikian juga masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya yang masih setia dengan ajaran Karuhun dalam memelihara hutan Biuk untuk kelestarian sumber daya air yang mencukup kebutuhan irigasi dan air baku mereka.

Masyarakat suku Tabla di Papua mengenal sistem zona dalam mendayagunakan ruang untuk berbagai keperluan yang didasarkan atas kondisi geografis. Masyarakat Maluku mengenal sistem "sasi" untuk mencegah terjadinya over fishing. Petani di Pulau Bali mempraktikkan tradisi subak dalam pengelolaan sumber daya air. Sementara itu masyarakat Kajang Bulukamba Sulawesi Selatan masih mempraktikkan tradisi pasang dalam bercocok tanam.

Sayang sekali berbagai modal sosial yang berupa kearifan lingkungan itu kini telah mulai rapuh. Sisa-sisa tradisi yang masih dipraktikkan hingga kini bisa dihitung dengan jari misalnya tradisi pikukuh oleh masyarakat Badui, pola karuhun masyarakat Kampung Naga dan tradisi pasang masyarakat Kajang di Sulawesi Selatan. Petani Jawa tidak lagi setia dengan nyabuk gunung.

Daerah-daerah dengan kelerengan di atas 30 derajat seperti di lereng Sindoro, dataran tinggi Dieng sengaja dieksploitasi untuk lahan tanaman kentang. Tahun 1984, Prof Otto Soemarwoto sudah menjuluki fenomena di Dieng itu sebagai kondisi lapar lahan.

Rapuhnya kearifan lingkungan itu seiring dengan makin besarnya jumlah penduduk dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Meningkatnya jumlah penduduk dan beragamnya kebutuhan memicu eksploitasi sumber daya alam makin besar.

Sementara itu dengan teknologi manusia merasa bahwa alam tidak lagi sakral karena ia merasa bisa menguasainya. Manusia tidak lagi merasa harus mengikuti irama dan hukum alam tetapi menentukan irama dan hukumnya sendiri.

Serakah atau Kesrakat

Kalau kita cermati perilaku merusak lingkungan bisa didorong karena memang serakah atau karena kebutuhan mempertahankan untuk hidup (kesrakat). Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Selama puluhan tahun penguasaan oleh negara itu diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara maupun swasta yang mengeruk kekayaan bumi Nusantara baik dalam bentuk sumber daya hutan maupun mineral. Eksplotasi tersebut membawa implikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan pemiskinan masyarakat sekitar. Wujud keserakahan itu nampak pula pada terjadinya alih fungsi lahan di berbagai tempat.

Lahan konservasi dan daerah resapan dibabat untuk peruntukan komersial. Ruang terbuka hijau (RTH) disikat menjadi perumahan dan gedung. Jadilah pemanfaatan ruang di berbagai tempat dikendalikan oleh kekuatan pemilik modal. Akibatnya bisa dilihat hampir semua kota-kota di Indonesia mengalami banjir, longsor, semrawut dan kumuh. Memang terdapat fenomena di mana penduduk miskin turut menebang bakau dan mengambil kayu di hutan.

Hal itu didorong oleh kondisi di mana mereka butuh untuk mempertahankan hidup. Tahun 1997 seiring dengan kelahiran reformasi fenomena ini menjadi semakin menyolok di mana penjarahan hutan dilakukan secara sistematis dengan turut sertanya berbagai pihak.

Bukan saja pihak pemodal tetapi juga pihak-pihak terkait yang seharusnya mengamankan sumber daya alam tersebut. Tidak mengherankan jika laju kerusakan hutan meningkat dari 1,6 juta hektare per tahun di masa Orde Baru, menjadi 2,5 juta hektare per tahun di masa reformasi.

Menilik demikian buruk hubungan manusia dengan alam apakah diperlukan kontrak baru dengan alam agar hubungan manusia kembali mesra?

Memang bukan perkara gampang mengajak kembali untuk menghormati alam dengan seisinya ini. Tetapi juga bukan tidak mungkin hal itu dilakukan. Warga Amerika yang mencetuskan hari bumi itu tiga puluh enam tahun yang lalu memulai dengan kegiatan yang sederhana seperti membersihkan selokan, jalan, tempat-tempat umum secara bersama.

Penyemaian cinta lingkungan itu tumbuh menjadi gerakan sosial yang menuntut pemerintah dan dunia usaha untuk peduli pada lingkungan. Jadilah kemudian peduli lingkungan itu sebagai agenda bersama.

Di samping sisa-sisa kearifan lingkungan sebagaimana disebutkan di atas sebagian masyarakat kita bahkan di perkotaan seperti warga di Sampangan Semarang masih melaksanakan tradisi bersih desa, yang sesungguhnya merupakan refleksi keinginan untuk hidup harmoni dengan alam.

Warga Semarang juga masih rajin melakukan Resik-Resik Kutha, demikian juga warga Solo. Persoalannya bagaimana kegiatan-kegiatan itu bukan hanya sekadar ritual dan terbatas menjadikan bersih tetapi menjadi spirit yang mampu menggugah semua pihak untuk memasukkan peduli lingkungan sebagai agenda bersama.

Kita harus percaya pada petuah Mahatma Gandhi bahwa bumi ini memberikan cukup untuk memenuhi kebutuhan tetapi memang bukan untuk memenuhi keserakahan.(14)

--- Sudharto P. Hadi, Guru Besar Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro

Badai Dan Pengaruhnya Terhadap Cuaca Buruk Di Indonesia


Badai Tropis (disebut juga dengan Typhoon atau Tropical Cyclone) adalah pusaran angin kencang dengan diameter Sampai dengan 200 km dan berkecepatan > 200 km/jam serta mempunyai lintasan sejauh 1000 km. Dengan kecepatan angin sedemikian, sebuah badai tropis yang melintasi daratan dapat mengakibatkan kerusakan yang sangat hebat. Tidak hanya pohon-pohon yang tercerabut dari akarnya, bangunan-bangunan permanen tersapu, mobil besar, kereta api, dan benda-benda besar atau berat lainnya terangkat dan beterbangan,  serta menimbulkan ribuan korban jiwa.

Pemberitaan mengenai badai, siklon tropis, dan putting beliung di media massa beberapa bulan terakhir seakan menambah kecemasan baru bagi masyarakat kita yang sudah kenyang diguncang bencana. Apalagi dengan banyaknya informasi simpang siur dan isu-isu yang berkembang seakan-akan terus memupuk kondisi resah dan was-was itu sampai-sampai menimbulkan ketakutan yang berlebihan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Analisa parameter-parameter cuaca khususnya yang berkaitan dengan badai (mulai dari sifatnya, geraknya, pertumbuhannya, hingga kerusakan yang mungkin ditimbulkannya) memerlukan pemahaman mendalam mengenai ilmu cuaca. Dan memahami ilmu cuaca tidak hanya bersifat liner tapi bersifat multfungsi dan pemahaman secara kesuluruhan sirkulasi udara serta sebab dan akibatnya.

SEKILAS BADAI TROPIS
Meskipun badai itu sendiri sebenarnya sudah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu, kata “Badai” di telinga masyarakat Indonesia seolah-olah merupakan fenomena yang baru, aneh dan seolah-olah sama dengan badai yang terjadi di Amerika, Australia, Jepang, china dan Filipina.
Badai Tropis (disebut juga dengan Typhoon atau Hurricane atau Tropical Cyclone) merupakan pusaran angin kencang dengan diameter sampai dengan 200 km/jam, berkecepatan > 200 km serta mempunyai lintasan sejauh 1000 km. Setiap tahunnya badai tumbuh di atas perairan luas di setiap samudera yang ada di permukaan bumi. Ia bisa tumbuh ketika suhu muka laut berada di atas 27 oC dan bisa dideteksi kemungkinan tumbuhnya sejak tiga hari sebelumnya. Karena bertambahnya faktor kekasaran permukaan dan kehilangan sumber kelembabannya, badai akan melemah ketika masuk ke daratan.

INDONESIA BUKAN DAERAH LINTASAN BADAI
Setiap badai bergerak dengan lintasan mereka masing-masing. Meskipun demikian, pada umumnya badai yang terbentuk di sebelah Utara ekuator bergerak ke arah Barat atau Barat Laut, dan badai yang terbentuk di sebelah Selatan ekuator bergerak ke arah Barat atau Barat Daya. Ini berkaitan banyak faktor termasuk di antaranya arah rotasi bumi dan gaya corioli yang ditimbulkannya.
Badai tropis bergerak berbanding lurus dengan besar gaya coriolis bumi. Di sini berlaku fungsi matematik Sinus Ф dengan Ф adalah besar lintang. Karena Indonesia berada di wilayah ekuator dengan sudut lintang rendah, maka harga Sinus yang didapat mendekati nol. Hal tersebut menyebabkan badai tropis apapun tidak mungkin melintasi wilayah Indonesia. Bisa dilihat dari data klimatologi bahwa wilayah tumbuh badai tropis adalah di atas 10o LS pada bulan Desember sampai April dan diatas 10o LU pada bulan September sampai November.
Pada saat musim kemarau, Badai Tropis tumbuh di sekitar perairan sebelah Utara Papua Nugini dan bergerak ke arah Filipina dan Korea/ Jepang. Badai jenis ini termasuk di antaranya Badai Tropis Cimaron (6 Oktober – 6 November 2006), Badai Tropis Durian (26 November – 6 Desember 2006) maupun Badai Tropis Utor (6 – 14 Desember 2006).  Biasanya daerah yang terpengaruh adalah sekitar Sulawesi Utara dan Papua Nugini.
Pada saat musim  hu jan, badai tropis tumbuh di sekitar perairan Laut Timor atau Teluk Carpentaria dan bergerak ke arah Barat atau Barat Daya. Badai jenis ini termasuk di antaranya Badai Tropis Nelson (6 – 7 Februari 2007), Badai Tropis George (3 – 9 Maret 2007) maupun Badai Jacob (7 – 12 Maret 2007). Badai ini mempengaruhi kondisi cuaca di wilayah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa, Bali dan Sumatera Selatan.
Dari kenyataan itu dapat ditegaskan sekali lagi bahwa Badai tidak selamanya membentuk cuaca buruk di Indonesia, sehingga diperlukan dalam menganalisa dibuutuhkan prakirawan cuaca yang berpengalaman dan qualified, memahami seluk beluk sirkulasi udara, tidak hanya sekedar melihat satelit awan kemudian menyimpulkan adanya bibit badai akan mengancam Indonesia.


KLIMATOLOGI BADAI


Sub Bidang Informasi Meteorologi Publik BMG telah mengumpulkan data badai tropis yang pernah terjadi selama 41 tahun dari tahun 1965 – 2005. Data yang terkumpul khususnya untuk wilayah 0°-50° LS dan 90°-150° BT. Area ini mencakup wilayah Indonesia bagian selatan ekuator, Samudra Hindia bagian Timur, benua Australia, Papua Nugini dan Sebagian Samudera Pasifik Barat.
KESIMPULAN

  1. Badai Tropis harus dilihat dari kecepatan angin kemudian baru tekanan bukan dari citra satelit awan
  2. Dampak tidak langsung dari Badai Tropis ditentukan sirkulasi udara yang sedang terjadi
  3. Cuaca Buruk : hujan lebat, angin kencang dan gelombang tinggi terjadi pada saat sebelum Badai Tropis tumbuh
  4. Badai Tropis tidak melintasi Indonesia, dampak tidak langsungnya tergantung arah gerakan dari badai itu sendiri
  5. Rata-rata jumlah Badai Tropis pada bulan Maret sebanyak  3 kali, sedangakan bulan April antara 1 atau 2 kali
REKOMENDASI :
  1. Tidak memberikan informasi Badai jika tidak dilengkapi dengan data yang akurat
  2. Agar berkordinasi dengan Sub Bidang Informasi Meteorologi Publik
  3. Dalam menganalisa Puting beliung sebaiknya tidak perlu dikaitkan dengan Badai Tropis karena mempunyai skala ruang dan waktu yang sangat berbeda
DAFTAR PUSTAKA
  1. Achmad Zakir. Drs, Hujan lebat, Angin Kencang dan Badai, 2005
  2. Achmad Zakir. Drs, Badai Angin , 2006
  3. Achmad Zakir. Drs, Bagaimana mengetahui adanya Angin Kencang/Putting Beliung, 2006
  4. WMO, TD 1129, 2002

Kerusakan Alam Berdampak Buruk Dan Berujung Kemiskinan

TRIBUN-MEDAN, MEDAN - Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Agung Laksono mengatakan, kerusakan alam semakin parah dan berdampak buruk bagi pangan nasional yang berujung pada kemiskinan.

Oleh karenanya Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) adalah solusi yan baik dalam rangka meningkatkan angka kesejahteraan masyarakat.

"Kesediaan besar terus mengkhawatirkan, petani akan terancam olehnya,"Papar Agung Laksono saat menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) HKTI di Tiara Hotel, Rabu (27/04/2011).

Agung menyebutkan situasi diperparah dengan semakin sempitnya lahan untuk bercocok tanam bagi para petani yang disebabkan terus menjamurnya pemukiman diatas lahan yang seharusnya dapat ditanami.

Melihat keadaan tersebut pemerintah tetap menyediakan pasokan beras bersubsidi kepada rakyat miskin yang dikenal dengan Raskin (Besar untuk rakyat miskin).

"Juga dengan tujuan meningkatkan income keluarga tidak mampu, semuanya pemerintah lakukan demi kenaikan ketahanan pangan dan produksi di sektor pertanian,"Tegas Agung.

Sebagai solusi, Agung menjelaskan HKTI merupakan salahsatu wadah terbaik mengurangi angka kemiskinan dan masalah pertanian lainnya.

Guru Tulis