Ternyata tidak hanya aksi massa anti globalisasi yang berunjuk rasa menentang pertemuan KTT G-8 di Jerman. Amerika cukup gerah dalam pertemuan tersebut di Jerman. Dalam awal pembukaan dalam forum indikasi adanya konflik sudah terasa.
Kanselir Jerman Angela Markel ditentang Ketua Dewan Kualitas Lingkungan Hidup AS, Jim Connaughton, ketika mengagendakan pembahasan perubahan iklim menuju kesepakatan penanggulan efek rumah kaca. “Dalam pertemuan ini, kita tidak duduk semeja dengan Tiongkok, India, Brazil, Meksiko, Afrika Selatan, Australia, Korea Selatan, dan negara-negara penghasil emisi terbesar lain. Karena itu kami (AS) menolak membicarakan pemanasan global atau menyepakati konsesus apapun dalam forum ini,” tandas Jim (Indo Pos, Kamis 7/06/07).
Global Warming Issue
Pemanasan global (global warning) merupakan isu sentral yang pantas untuk dibahas dalam era saat ini. Apalagi, wilayah Indonesia yang terbentang dua samudra besar dunia (Samudra Pasifik dan Samudra Atlantik) olej para peneliti disebut sebagai rumah mesin (engine house). Dan ini merupakan dari sentral iklim dunia.
Tentu kita masih ingat badai Katrina di AS, Chancu di China yang menewaskan ratusan juta manusia. Badai yang terjadi di akhir-akhir ini merupakan anomali dari penyimpangan makhluk hidup terutama spesies manusia yang kejam di bumi ini yang tidak mempedulikan kelestarian hidupnya. Punahnya satwa liar dan tumbuhan langka dalam skala besar, juga kelangkaan sumber daya alam bakal terus berlanjut selama jeratan utang di dunia masih menumpuk. Faktor utama lainnya adalah ekonomi kapitalis global yang memicu bola salju yang semakin membesar menekan negara-negara lemah menjual sumber daya alamnya serta binatang langka untuk mencari keuntungan memperbaiki ekonominya.
Akhirnya, bangsa ini merupakan korban dari ekonomi kapitalis global, lihat saja blok Cepu yang seharusnya di miliki pemerintah namun, saat ini di miliki negara AS. Tidak hanya itu saja, PT Freeport yang menguras kekayaan sumber daya alam, bahkan warga Papua tidak bisa menikmatinya. Belum lagi permasalahan Blok Natuna yang merupakan sumber gas terbesar di dunia.
Kapitalis global jugalah yang menyebabkan meningkatnya kemiskinan, ketidakadilan sosial yang semakin memburuk. Doktrin globalisasi ekonomi, yang dikenal dengan neoliberalisme atau konsensus Washington – Persetujuan-persetujuan perdagangan bebas yang dikenakan WTO terhadap negara-negara anggotanya akan meningkatkan perdagangan global; Keadaan tersebut menciptakan suatu ekspansi ekonomi global; dan pertumbuhan ekonomi global akan mengurangi kemiskinan, karena manfaatnya pada akhirnya akan turun bagi semua. Hal ini sering di sampaikan para pemimpin politik dan perusahaan, pasang naik ekonomi baru akan mengangkat semua perahu.
Analisis Castells dengan jelas menunjukan bahwa pemikiran ini pada dasarnya cacat. Kapitalis global tak mengurangi kemiskinan dan peminggiran sosial; sebaliknya kapitalis global membuat keadaan lebih buruk. Usaha sentral teori dan praktek ekonomi sekarang mengusahakan pertumbuhan ekonomi terus-menerus seragam – Jelas tak bisa di pertahankan, karena ekspansi tanpa batas di atas planet yang punya batas hanya bisa memberikan bencana besar terutama ekologis dan biosfer kehidupan manusia. Dan ini semakin kompleks kemungkinan tidak bisa di perbaiki.
Satu ajaran neo liberalisme adalah bahwa negara-negara miskin sebaiknya berkonsentrasi memproduksi beberapa barang khusus untuk diekspor agar memperoleh devisa, dan mengimpor sebagian komoditas lainnya. Penekanan ini memberikan dampak pada kehidupan ekologis dan menyebabkan cepat terkurasnya sumber daya alam yang diperlukan untuk menghasilkan produk ekspor di berbagai negara. Contohnya, yang ada di Indonesia dengan mengkonversi lahan hutan menjadi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit; migrasi paksa petani dari tanah mereka. Pengalihan air bersih dari sawah ke tambak udang, tidak salah juga kalau hampir 205 perusahaan AS dalam enam tahun ini di bidang energi ada di Indonesia, bahkan pemerintah AS menanamkan modal sebesar USD 1 Miliar. Dan ini menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat fatal.
Permasalahan pemanasan global memberikan dampak masalah yang kompleks mulai dari ekonomi, lingkungan hidup, hingga spesies mahluk hidup. Oleh sebab itu, ciri dari pemanasan global menuju ambang batas dari punahnya spesies utama yakni, spesies manusia. Di AS sudah ada gelombang panas yang menewaskan 200 an orang. Di China bagian tengah, Danau Donghu, Wuhan, Provinsi Hubei ribuan ikan seberat 30.000 kilogram mati karena polusi dan cuaca panas (Kompas, Jum’at, 13/07).
Selain itu, International Panel On Climate Change (IPCC) memperkirakan, kenaikan suhu bumi antara 0,5-2,0 0c tiap tahun terjadi peningkatan air laut hingga 10-12 cm, jika pemanasan global tidak ditekan, tahun 2010 air laut bakal meninggi 95 cm. Bahkan polusi semakin menggila, apabila karbondioksida (zat sisa pembakaran meningkat dua kali lipat bisa dipastikan temparatur bumi bakal menaik 4,5 derajat celcius.
Penemuan IPCC mengungkapkan temparatur bumi meningkat 0,74 derajat celcius pada abad lalu. Seringnya gelombang pasang ataupun jarangnya topan pada pertengahan tahun 1900 an ada 90 persen. Sedangkan, tahun 2001 kemungkinan ini terjadi menjadi 66 persen atau kurang. Pemanasan global juga memusnahkan 30 persen satwa dan tumbuhan Indonesia akibat kenaikan suhu 0,2-1 derajat celcius dalam 34 tahun terakhir ini. Salah satu anomali dari dampak pemanasan global ini dengan melihat prilaku orang utan (Pongo Pygmeus) di pedalaman hutan Kalimantan. Dulu satwa arboreal ini hidup di pucuk-pucuk memakan buah dan serangga, namun, kini banyak ditemui orang utan berjalan-jalan di darat. Selain itu, Curry dan Cicilie Mouritzen dari Nowergian Meteorogical Institute memperhitungkan ada ekstra 19.000 kilometer kubik air mengalir ke laut utara antara tahun 1965 hingga 1995.
Menurut para peneliti, perubahan iklim di belahan bumi utara telah melelehkan gletser dan membawa lebih banyak hutan dan menyebabkan air tawar mengalir ke laut akibat langsungnya adalah kenaikan air laut dan tenggelamnya wilayah pesisir. Dampak pemanasan global juga mempengaruhi penipisan ozone antara lain meningkatnya intensitas sinar ultra violet yang mencapai permukaan bumi menyebabkan gangguan terhadap kesehatan, seperti kanker kulit, katarak, penurunan daya tahan tubuh, dan pertumbuhan mutasi genetik. Dalam situasi sulit yang terpenting dari umat manusia ini perlunya mereduksi pada lingkungan alam yang sistimatis. Hal ini pernah di sampaikan senator Al Gore dengan berani di tahun 1992, “Kita harus menjadikan penyelamatan lingkungan sebagai organisasi sentral bagi peradaban”.
Di sisi lain, ada upaya menyalahkan matahari sebagai faktor utama pemanasan global. Namun ternyata radiasi panas matahari tidak meningkat. Dari penelitian didapati bahwa suhu matahari cenderung menurun-secara tidak signifikan (Kompas, Rabu (01/08), 2007). Selama masih ada sistim ekonomi kapitalis global dunia bakal dilanda bencana alam besar yang sangat fital. Apa yang diungkapkan fisikawan Stephen W Hwaking bahwa ”kiamat dipercepat oleh aktifas manusia yang tidak mempedulikan ekosistem” nampaknya benar-benar terjadi di bumi ini.