Pulau Sibaru-baru di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat (merupakan satu dari 92 pulau terluar Indonesia) dipenuhi fosil karang. Hal itu terjadi karena kenaikan permukaan pantai hingga sekitar 1 meter saat terjadi gempa bumi, Desember 2004 lalu.
Gempa bumi dahsyat disusul gelombang tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam, Desember 2004, menyebabkan terangkatnya daratan di pesisir barat Pulau Simeulue. Tiga bulan kemudian, Maret 2005, gempa bumi yang lain menaikkan daratan di pesisir Pulau Nias 1 meter hingga 1,5 meter. Kenapa?
Oleh Gesit Ariyanto
SEPTEMBER 2007 giliran gempa bumi mengguncang Bengkulu. Gempa ini menyebabkan terangkatnya daratan Pulau Mega di Bengkulu hingga Pagai Selatan di Provinsi Sumatera Barat dengan ketinggian yang hampir sama dengan fenomena di Pulau Simeulue dan Nias.
Pada kunjungan bersama Tim Ekspedisi Garis Depan Nusantara-Wanadri di Pulau Sibarubaru, Pagai Selatan, awal Juni 2008, Kompas melihat fenomena alam menakjubkan. Garis pantai maju ke arah laut hingga sekitar 500 meter dengan hamparan terumbu karang yang telah mati.
Daratan terangkat sekitar 1 meter dari sebelumnya. Di sela-sela karang mati itu mulai tumbuh tanaman bakau.
Menurut Komandan Operasi Tim Ekspedisi Garis Depan Nusantara Haris Mulyadi, pemandangan serupa terlihat di Pulau Mega, Bengkulu. Ketinggian karang yang terangkat mencapai 1,5 meter, memajukan garis pantai ratusan meter.
Di dusun Lakau dan Limosua, Pagai Selatan, sekitar 40 menit perjalanan laut dari Pulau Sibarubaru, penduduk kesulitan merapatkan sampan akibat terangkatnya terumbu karang. Kenaikan daratan juga menyebabkan Sungai Lakau mendangkal.
Akibatnya, sungai tak lagi bisa dilewati perahu bermesin tempel seperti sebelumnya. Warga juga tak bisa lagi menjala ikan yang dulunya berkembang biak di sana.
Menurut warga, kedalaman sangai itu dulunya mencapai 2 meter. Kini kurang dari 1 meter.
Bagi pakar gempa dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawidjaja, fenomena itu biasa dijelaskan secara geologi. Penelitiannya bersama peneliti dari California Institute of Technology menemukan lebih dari satu siklus gempa bumi di kepulauan itu, masing-masing tahun 1300, 1600-an, 1797, dan 1833.
Berdasarkan kajian siklus gempa di pulau-pulau barat Pulau Sumatera, terangkatnya daratan perlahan-lahan diikuti penurunan. Kisaran penurunannya antara 1 cm hingga 1,5 cm per tahun.
Mengacu siklus gempa yang telah terdeteksi, penurunan gempa akan mencapai titik jenuh dalam tempo 200 tahunan, dengan kisaran penurunan daratan (pulau) antara 2 meter hingga 3 meter.
Tumbukan lempeng
Fenomena penurunan daratan di sisi barat Sumatera disebabkan tumbukan lempeng--lempeng samudra (di dasar Samudra Hindia) menekan lempeng benua di bawah daratan Sumatera. Seiring waktu, tekanan lempeng samudra itu akan melampaui kekuatan lempeng benua untuk menahannya.
Begitu tak tertahankan, pecah dan bergeserlah lempeng benua diikuti getaran yang disebut gempa bumi. Di lautan lentingan lempeng benua akan mengguncang lautan yang diikuti tsunami dan meninggalkan fenomena alam berupa terumbu karang menjadi daratan.
Informasi yang diperoleh Danny, lentingan lempeng benua pernah menyebabkan terangkatnya daratan (pulau) Pagai setinggi 3 meter. Fenomena naiknya terumbu karang hingga 1,5 meter, seperti yang terjadi saat ini, belum merupakan puncak.
Menurut Danny, tidak setiap terjadinya lentingan menunggu titik jenuh tumbukan. Bagian lempeng benua dapat terlepas lebih awal (sebelum siklus 200 tahunan).
Hanya, fenomena itu berdampak kecil, di antaranya disertai magnitudo gempa yang kecil dan rendahnya tsunami.
Fenomena lepasan "kecil" itulah yang disinyalir muncul sebagai gempa Nias, Maret 2005, dan gempa Bengkulu, September 2007.
Menurut catatan sejarah, setidaknya pernah terjadi dua kali gempa besar di gugusan Kepulauan Mentawai, yaitu tahun 1797 berkekuatan 8,3 skala Richter (SR) di Pulau Sipora dan gempa berskala 8,5 SR yang menghantam Pulau Pagai pada tahun 1833 silam.
Potensi terbaru
Saat ini dari lima pulau besar di gugusan Kepulauan Mentawai hanya daratan Pulau Sipora dan Siberut yang belum mengalami pengangkatan daratan.
Mengacu siklus 200 tahunan, hal itu menjelaskan bahwa segmen lempeng benua di bawah dua pulau itu masih sanggup menahan tumbukan lempeng benua. Berbeda dengan kejadian di kawasan Pulau Mega serta Pagai Selatan atau di kawasan Simeulue dan Nias.
Dengan kata lain, potensi lentingan di kawasan Sipora dan Siberut sudah dalam taraf "hamil tua". Bila itu terjadi, bukan tidak mungkin menggerakkan segmen lainnya.
Menurut Danny, penjelasan potensi itu disebabkan episentrum gempa bukan berupa titik, tetapi sebuah bidang.
Episentrum gempa sebagai sebuah bidang itulah yang menjelaskan mengapa daratan di Simeulue (akibat gempa Desember 2004) terangkat, disusul peristiwa serupa di Nias tiga bulan kemudian (gempa Maret 2005). Artinya, pergeseran segmen lempeng tertentu akan diikuti segmen lain untuk mencapai titik keseimbangan.
"Melihat fenomena itu, terangkatnya daratan di Pulau Mega hingga Pagai Selatan masih akan diikuti kejadian serupa di Pagai Utara, Sipora, atau Siberut. Hanya, tak tahu kapan waktunya," ujarnya. Mengacu peristiwa Nias, hanya membutuhkan waktu tiga bulan menyusul Simeulue.
Memicu tsunami
Yang patut dikhawatirkan adalah bila pusat gempa bumi berada di bawah Selat Mentawai. Hal itu akan memicu tsunami besar yang mengancam Pantai Padang yang berkontur datar dan tidak terlindungi.
Kekhawatiran dengan kadar berbeda bila pusat gempa berada di sisi barat kepulauan Mentawai, di mana tsunami ke arah Padang telah terlindungi pulau-pulau. Akan tetapi, mengancam penduduk di pesisir barat Mentawai.
Kini siklus gempa sudah terdeteksi melalui "garis tahun"terumbu karang yang mati dan informasi pergerakan muka bumi melalui alat global positioning system. Akan tetapi, prediksi waktu yang tepat datangnya gempa tetap belum dapat dicapai.
Sekalipun belum jelas kapan datangnya gempa, kesiapsiagaan perlu dibangun demi keselamatan warga pesisir. Tujuannya bukan hanya bagi warga di gugusan kepulauan di barat Pulau Sumatera, tetapi juga bagi warga yang bermukim di sepanjang pesisir pantai barat Sumatera, seperti Padang, Sibolga, hingga Bengkulu.
Posisi Pulau Sumatera, yang menjadi semacam "engsel" naik-turunnya daratan (pulau) di gugusan Mentawai, bukan berarti membebaskan daratan Sumatera dari dampak gempa bumi berpotensi tsunami. Apalagi, bila pusat gempa berada di bawah Selat Mentawai.
Oleh Gesit Ariyanto
SEPTEMBER 2007 giliran gempa bumi mengguncang Bengkulu. Gempa ini menyebabkan terangkatnya daratan Pulau Mega di Bengkulu hingga Pagai Selatan di Provinsi Sumatera Barat dengan ketinggian yang hampir sama dengan fenomena di Pulau Simeulue dan Nias.
Pada kunjungan bersama Tim Ekspedisi Garis Depan Nusantara-Wanadri di Pulau Sibarubaru, Pagai Selatan, awal Juni 2008, Kompas melihat fenomena alam menakjubkan. Garis pantai maju ke arah laut hingga sekitar 500 meter dengan hamparan terumbu karang yang telah mati.
Daratan terangkat sekitar 1 meter dari sebelumnya. Di sela-sela karang mati itu mulai tumbuh tanaman bakau.
Menurut Komandan Operasi Tim Ekspedisi Garis Depan Nusantara Haris Mulyadi, pemandangan serupa terlihat di Pulau Mega, Bengkulu. Ketinggian karang yang terangkat mencapai 1,5 meter, memajukan garis pantai ratusan meter.
Di dusun Lakau dan Limosua, Pagai Selatan, sekitar 40 menit perjalanan laut dari Pulau Sibarubaru, penduduk kesulitan merapatkan sampan akibat terangkatnya terumbu karang. Kenaikan daratan juga menyebabkan Sungai Lakau mendangkal.
Akibatnya, sungai tak lagi bisa dilewati perahu bermesin tempel seperti sebelumnya. Warga juga tak bisa lagi menjala ikan yang dulunya berkembang biak di sana.
Menurut warga, kedalaman sangai itu dulunya mencapai 2 meter. Kini kurang dari 1 meter.
Bagi pakar gempa dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawidjaja, fenomena itu biasa dijelaskan secara geologi. Penelitiannya bersama peneliti dari California Institute of Technology menemukan lebih dari satu siklus gempa bumi di kepulauan itu, masing-masing tahun 1300, 1600-an, 1797, dan 1833.
Berdasarkan kajian siklus gempa di pulau-pulau barat Pulau Sumatera, terangkatnya daratan perlahan-lahan diikuti penurunan. Kisaran penurunannya antara 1 cm hingga 1,5 cm per tahun.
Mengacu siklus gempa yang telah terdeteksi, penurunan gempa akan mencapai titik jenuh dalam tempo 200 tahunan, dengan kisaran penurunan daratan (pulau) antara 2 meter hingga 3 meter.
Tumbukan lempeng
Fenomena penurunan daratan di sisi barat Sumatera disebabkan tumbukan lempeng--lempeng samudra (di dasar Samudra Hindia) menekan lempeng benua di bawah daratan Sumatera. Seiring waktu, tekanan lempeng samudra itu akan melampaui kekuatan lempeng benua untuk menahannya.
Begitu tak tertahankan, pecah dan bergeserlah lempeng benua diikuti getaran yang disebut gempa bumi. Di lautan lentingan lempeng benua akan mengguncang lautan yang diikuti tsunami dan meninggalkan fenomena alam berupa terumbu karang menjadi daratan.
Informasi yang diperoleh Danny, lentingan lempeng benua pernah menyebabkan terangkatnya daratan (pulau) Pagai setinggi 3 meter. Fenomena naiknya terumbu karang hingga 1,5 meter, seperti yang terjadi saat ini, belum merupakan puncak.
Menurut Danny, tidak setiap terjadinya lentingan menunggu titik jenuh tumbukan. Bagian lempeng benua dapat terlepas lebih awal (sebelum siklus 200 tahunan).
Hanya, fenomena itu berdampak kecil, di antaranya disertai magnitudo gempa yang kecil dan rendahnya tsunami.
Fenomena lepasan "kecil" itulah yang disinyalir muncul sebagai gempa Nias, Maret 2005, dan gempa Bengkulu, September 2007.
Menurut catatan sejarah, setidaknya pernah terjadi dua kali gempa besar di gugusan Kepulauan Mentawai, yaitu tahun 1797 berkekuatan 8,3 skala Richter (SR) di Pulau Sipora dan gempa berskala 8,5 SR yang menghantam Pulau Pagai pada tahun 1833 silam.
Potensi terbaru
Saat ini dari lima pulau besar di gugusan Kepulauan Mentawai hanya daratan Pulau Sipora dan Siberut yang belum mengalami pengangkatan daratan.
Mengacu siklus 200 tahunan, hal itu menjelaskan bahwa segmen lempeng benua di bawah dua pulau itu masih sanggup menahan tumbukan lempeng benua. Berbeda dengan kejadian di kawasan Pulau Mega serta Pagai Selatan atau di kawasan Simeulue dan Nias.
Dengan kata lain, potensi lentingan di kawasan Sipora dan Siberut sudah dalam taraf "hamil tua". Bila itu terjadi, bukan tidak mungkin menggerakkan segmen lainnya.
Menurut Danny, penjelasan potensi itu disebabkan episentrum gempa bukan berupa titik, tetapi sebuah bidang.
Episentrum gempa sebagai sebuah bidang itulah yang menjelaskan mengapa daratan di Simeulue (akibat gempa Desember 2004) terangkat, disusul peristiwa serupa di Nias tiga bulan kemudian (gempa Maret 2005). Artinya, pergeseran segmen lempeng tertentu akan diikuti segmen lain untuk mencapai titik keseimbangan.
"Melihat fenomena itu, terangkatnya daratan di Pulau Mega hingga Pagai Selatan masih akan diikuti kejadian serupa di Pagai Utara, Sipora, atau Siberut. Hanya, tak tahu kapan waktunya," ujarnya. Mengacu peristiwa Nias, hanya membutuhkan waktu tiga bulan menyusul Simeulue.
Memicu tsunami
Yang patut dikhawatirkan adalah bila pusat gempa bumi berada di bawah Selat Mentawai. Hal itu akan memicu tsunami besar yang mengancam Pantai Padang yang berkontur datar dan tidak terlindungi.
Kekhawatiran dengan kadar berbeda bila pusat gempa berada di sisi barat kepulauan Mentawai, di mana tsunami ke arah Padang telah terlindungi pulau-pulau. Akan tetapi, mengancam penduduk di pesisir barat Mentawai.
Kini siklus gempa sudah terdeteksi melalui "garis tahun"terumbu karang yang mati dan informasi pergerakan muka bumi melalui alat global positioning system. Akan tetapi, prediksi waktu yang tepat datangnya gempa tetap belum dapat dicapai.
Sekalipun belum jelas kapan datangnya gempa, kesiapsiagaan perlu dibangun demi keselamatan warga pesisir. Tujuannya bukan hanya bagi warga di gugusan kepulauan di barat Pulau Sumatera, tetapi juga bagi warga yang bermukim di sepanjang pesisir pantai barat Sumatera, seperti Padang, Sibolga, hingga Bengkulu.
Posisi Pulau Sumatera, yang menjadi semacam "engsel" naik-turunnya daratan (pulau) di gugusan Mentawai, bukan berarti membebaskan daratan Sumatera dari dampak gempa bumi berpotensi tsunami. Apalagi, bila pusat gempa berada di bawah Selat Mentawai.
No Response to "Fenomena Geologi di Balik Daratan Terangkat"
Posting Komentar