TANGGAL 22 April lusa, kembali kita memperingati hari bumi. Hari di mana kita selayaknya melakukan refleksi atas perlakuan kita kepada bumi selama ini. Bumi merupakan tempat hidup kita, bagian yang penting dari lingkungan kita. Tetapi setiap kali memperingati hari bersejarah itu setiap kali pula kekecewaan yang kita dapatkan. Betapa tidak, kerusakan bumi makin meningkat. Banjir dan longsor baru saja menerpa berbagai daerah di bumi pertiwi ini. Bencana itu bukan sekadar fenomena alam tetapi menjadi indikasi yang kuat menurunnya daya dukung lingkungan.
Bencana banjir bandang di Jember telah diyakini disebabkan oleh pembalakan hutan di daerah hulu. Sejumlah LSM menuntut para pelaku pembalakan hutan yang dicap sebagai penjahat lingkungan untuk diajukan ke pengadilan. Bencana tanah longsor di Banjarnegara masih simpang-siur. Sebagian besar berpendapat disebabkan oleh kondisi geologis.
Bencana banjir di Manado lagi ditengarai oleh kerusakan lingkungan. Banjir bandang di sepanjang Kali Gelis di wilayah Kudus, Pati, dan Jepara diindikasikan oleh kerusakan hutan di kawasan Saptarengga. Sedangkan tanah longsor yang membuat runtuh perumahan Ayodya di daerah Sekaran, Gunungpati, Kota Semarang merupakan daerah yang sesungguhnya tidak layak sebagai hunian.
Hal yang sama juga terjadi di daerah Gumpilsari dan Bukit Regency di daerah Semarang Selatan yang terjadi beberapa tahun lalu. Berbagai bencana yang baru saja terjadi mengingatkan bencana serupa yang terjadi di Bahorok, Sumatera Utara. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2000 menunjukkan kawasan hutan yang telah berubah fungsi mencapai 2 juta hektare.
Di Jawa perubahan kawasan hutan telah mencapai 53,6 persen. Kondisi ini mengantarkan pada suatu pemikiran bahwa untuk mengendalikan banjir dan longsor diperlukan moratorium penebangan hutan di Jawa. Apakah memang manusia itu dilahirkan untuk tidak bersahabat dengan alam?
Selaras Dengan Alam
Kalau kita tengok evolusi hubungan manusia dengan alam sesungguhnya manusia itu memulainya dengan satu tahapan yang sangat harmonis yang disebut sebagai pan cosmism di mana manusia berusaha untuk hidup selaras dengan alam. Dalam pandangan manusia pada masa itu alam itu besar dan sakral karena itu harus dipelihara. Jika terjadi kerusakan alam akan berakibat buruk pada manusia itu sendiri.
Untuk merealisasikan gagasan itu manusia menciptakan pemali-pemali atau etika bagaimana bertindak dan bertingkah laku terhadap alam. Hampir semua etnis di negeri kita ini memiliki aturan-aturan dimaksud yang disebut sebagai kearifan lingkungan.
Di Jawa para petani akrab dengan kebiasaan nyabuk gunung sedangkan petani Sunda menyebutnya ngais gunung. Kedua kearifan lingkungan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi. Masyarakat Badui mempraktikkan tradisi pikukuh dalam bercocok tanam dan membangun rumah. Demikian juga masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya yang masih setia dengan ajaran Karuhun dalam memelihara hutan Biuk untuk kelestarian sumber daya air yang mencukup kebutuhan irigasi dan air baku mereka.
Masyarakat suku Tabla di Papua mengenal sistem zona dalam mendayagunakan ruang untuk berbagai keperluan yang didasarkan atas kondisi geografis. Masyarakat Maluku mengenal sistem "sasi" untuk mencegah terjadinya over fishing. Petani di Pulau Bali mempraktikkan tradisi subak dalam pengelolaan sumber daya air. Sementara itu masyarakat Kajang Bulukamba Sulawesi Selatan masih mempraktikkan tradisi pasang dalam bercocok tanam.
Sayang sekali berbagai modal sosial yang berupa kearifan lingkungan itu kini telah mulai rapuh. Sisa-sisa tradisi yang masih dipraktikkan hingga kini bisa dihitung dengan jari misalnya tradisi pikukuh oleh masyarakat Badui, pola karuhun masyarakat Kampung Naga dan tradisi pasang masyarakat Kajang di Sulawesi Selatan. Petani Jawa tidak lagi setia dengan nyabuk gunung.
Daerah-daerah dengan kelerengan di atas 30 derajat seperti di lereng Sindoro, dataran tinggi Dieng sengaja dieksploitasi untuk lahan tanaman kentang. Tahun 1984, Prof Otto Soemarwoto sudah menjuluki fenomena di Dieng itu sebagai kondisi lapar lahan.
Rapuhnya kearifan lingkungan itu seiring dengan makin besarnya jumlah penduduk dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Meningkatnya jumlah penduduk dan beragamnya kebutuhan memicu eksploitasi sumber daya alam makin besar.
Sementara itu dengan teknologi manusia merasa bahwa alam tidak lagi sakral karena ia merasa bisa menguasainya. Manusia tidak lagi merasa harus mengikuti irama dan hukum alam tetapi menentukan irama dan hukumnya sendiri.
Serakah atau Kesrakat
Kalau kita cermati perilaku merusak lingkungan bisa didorong karena memang serakah atau karena kebutuhan mempertahankan untuk hidup (kesrakat). Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Selama puluhan tahun penguasaan oleh negara itu diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara maupun swasta yang mengeruk kekayaan bumi Nusantara baik dalam bentuk sumber daya hutan maupun mineral. Eksplotasi tersebut membawa implikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan pemiskinan masyarakat sekitar. Wujud keserakahan itu nampak pula pada terjadinya alih fungsi lahan di berbagai tempat.
Lahan konservasi dan daerah resapan dibabat untuk peruntukan komersial. Ruang terbuka hijau (RTH) disikat menjadi perumahan dan gedung. Jadilah pemanfaatan ruang di berbagai tempat dikendalikan oleh kekuatan pemilik modal. Akibatnya bisa dilihat hampir semua kota-kota di Indonesia mengalami banjir, longsor, semrawut dan kumuh. Memang terdapat fenomena di mana penduduk miskin turut menebang bakau dan mengambil kayu di hutan.
Hal itu didorong oleh kondisi di mana mereka butuh untuk mempertahankan hidup. Tahun 1997 seiring dengan kelahiran reformasi fenomena ini menjadi semakin menyolok di mana penjarahan hutan dilakukan secara sistematis dengan turut sertanya berbagai pihak.
Bukan saja pihak pemodal tetapi juga pihak-pihak terkait yang seharusnya mengamankan sumber daya alam tersebut. Tidak mengherankan jika laju kerusakan hutan meningkat dari 1,6 juta hektare per tahun di masa Orde Baru, menjadi 2,5 juta hektare per tahun di masa reformasi.
Menilik demikian buruk hubungan manusia dengan alam apakah diperlukan kontrak baru dengan alam agar hubungan manusia kembali mesra?
Memang bukan perkara gampang mengajak kembali untuk menghormati alam dengan seisinya ini. Tetapi juga bukan tidak mungkin hal itu dilakukan. Warga Amerika yang mencetuskan hari bumi itu tiga puluh enam tahun yang lalu memulai dengan kegiatan yang sederhana seperti membersihkan selokan, jalan, tempat-tempat umum secara bersama.
Penyemaian cinta lingkungan itu tumbuh menjadi gerakan sosial yang menuntut pemerintah dan dunia usaha untuk peduli pada lingkungan. Jadilah kemudian peduli lingkungan itu sebagai agenda bersama.
Di samping sisa-sisa kearifan lingkungan sebagaimana disebutkan di atas sebagian masyarakat kita bahkan di perkotaan seperti warga di Sampangan Semarang masih melaksanakan tradisi bersih desa, yang sesungguhnya merupakan refleksi keinginan untuk hidup harmoni dengan alam.
Warga Semarang juga masih rajin melakukan Resik-Resik Kutha, demikian juga warga Solo. Persoalannya bagaimana kegiatan-kegiatan itu bukan hanya sekadar ritual dan terbatas menjadikan bersih tetapi menjadi spirit yang mampu menggugah semua pihak untuk memasukkan peduli lingkungan sebagai agenda bersama.
Kita harus percaya pada petuah Mahatma Gandhi bahwa bumi ini memberikan cukup untuk memenuhi kebutuhan tetapi memang bukan untuk memenuhi keserakahan.(14)
--- Sudharto P. Hadi, Guru Besar Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro
Buruknya Hubungan Manusia dengan Alam
20.59
saadatul
Posted in
lingkungan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Buruknya Hubungan Manusia dengan Alam"
Posting Komentar